Sabtu, 03 Maret 2012

Cerita Cewek Yang takut Dengan Cowok Saat Didekatnya [Andhrophobia]






















Wanita manapun pasti gelisah saat kencan pertama. Emily Day, wanita usia 26 tahun yang didiagnosa dokter mengidap androphobia (takut pada pria), bercerita langsung soal apa yang membuatnya begitu panik menatap mereka...bukan cuma saat kencan pertama saja! KapanLagi.com - Coba ingat-ingat lagi apa yang Anda rasakan saat si dia mengajak Anda pergi kencan. Saat ia menghubungi dan mengatakan kalau Anda akan dijemput dalam waktu kurang dari 30 menit, lalu bertanya soal baju yang Anda kenakan, sampai akhirnya ia berdiri di depan pintu rumah Anda.

Betul, jantung Anda berdegup kencang, telapak tangan mulai terasa dingin, bagaikan ada kupu-kupu berputar di dalam perut Anda. Kurang lebih seperti itu kan? Tapi rasa gugup, gelisah, cemas, khawatir, ah...apapun itu bisa saja lenyap saat Anda menarik napas panjang dan menyesap satu tenggak wine. Suasana tegang dapat berubah cair, dan Anda kembali dalam keadaan normal.

Berbeda dengan kondisi yang saya alami. Ketika bertemu dengan seorang pria, saya merasa terperangkap. Badan terasa lunglai hingga ingin pingsan di tempat. Tenggorokan seperti tersumbat, tubuh saya dibasahi keringat dengan jumlah debit air yang cukup deras, kemudian disusul dengan kesulitan bernapas. Memeriksakan kondisi ini pada dokter ahli, sebuah hasil yang mencengangkan keluar dari mulutnya. Ini bukan soal penyakit yang bisa merenggut nyawa – tidak seperti itu. Ini penyakit psikologis. Yang berarti butuh penanganan dokter ahli, dan mirisnya, dibutuhkan waktu yang belum jelas kapan untuk bisa sembuh.

Dokter mendiagnosa saya mengidap androphobia. Terdengar asing di telinga? Jelas, saya bahkan tak tahu apa itu. Fobia ketinggian, fobia terjebak di ruangan sempit, saya tak akan terkejut lagi mendengarnya. Tapi waktu dokter menyebutkan fobia pada pria, siapa yang tak terperanjat mendengarnya. Ya, androphobia adalah ketakutan berlebihan saat melihat pria.

Saya merasa ngeri pada pria. Tinggi, pendek, tambun, kurus, tua atau muda – pria membuat saya takut. Ayah meninggalkan saya dan ibu ketika saya masih bayi, maka saya tumbuh dan besar tanpa ada kehadiran sosok pria dalam keluarga. Ibu pun tak pernah tampak memiliki kekasih sejak sepeninggalan ayah. Walaupun saya memiliki dua orang paman dekat, frekuensi pertemuan kami pun terbilang jarang. Berada dalam kondisi keluarga seperti ini tak menjadi beban yang berarti buat hidup saya. Dilimpahi kasih sayang dari ibu, dan kakak perempuan saya, Sarah, cukup membuat hidup lebih berarti, tanpa perlu ada sosok tangguh pria di sekeliling kami.

Dikelilingi pria-pria asing justru membuat saya tidak nyaman. Mereka membuat saya merasa tegang dan resah sendiri. Saya berjuang sekuat tenaga melawan rasa takut saat berada di sekolah. Di sini, mau tidak mau saya harus berhadapan dengan teman-teman pria. Sejujurnya, saya ketakutan dikelilingi mereka. Mau bagaimana lagi, mana mungkin saya tidak pergi sekolah karena penyakit seperti ini. Makanya, saya sering tidak masuk sekolah berhari-hari dengan alasan sakit. Hanya dengan cara inilah, saya bisa menjaga jarak dengan teman-teman pria sejauh mungkin. Entah kenapa, jauh lebih baik saat saya berada di rumah atau dikelilingi oleh teman-teman wanita.

Hidup Dipenuhi Ketakutan

Usia saya 13 tahun saat penyakit ini mulai menyerang setiap saat dalam hidup saya. Di suatu siang, saya mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Biasanya keluarga tak pernah membiarkan saya membuka pintu untuk tamu. Namun siang itu, hanya ada saya dan Sarah di rumah. Ketukan pintu terdengar semakin intens. Sarah yang tengah mandi, memohon pada saya untuk segera membuka pintu. Rasa panik langsung menyerang. “Bagaimana jika tamu tersebut seorang pria?” tanya saya dalam hati. Namun kepada Sarah, saya justru meneriakkan alasan, “Tidak bisa, saya sedang menelepon teman,” berharap supaya ia mengerti dan segera keluar dari kamar mandi meski hanya berbalutkan handuk. “Saya tahu kamu bohong! Ayo, buka pintunya,” Sarah membalas.

Terpaksa, saya pun menyeret langkah perlahan ke arah pintu. Terasa sekali keringat mulai bercucuran dari kepala, dan dengan sangat cepat membasahi sekujur tubuh. Takut-takut meraih knob pintu, tangan yang basah membuat saya menggenggam erat lalu membukanya paksa. Akhirnya pintu berhasil terbuka. Daun pintu terbuka dengan cukup lebar (thanks to, tenaga yang besar), sehingga saya bisa melihat jelas seorang pria tukang pos yang mengirim parsel. Tanpa sapaan ramah padanya, tanpa tatapan ke arahnya, cepat-cepat saya tanda tangan surat terimanya, mengambil parsel dari tangannya, dan segera menutup pintu. Wait, bukan menutup. Lebih tepatnya, membanting pintu. “Ada apa?” tanya Sarah. “Saya mendadak tak enak badan. Saya mau merebahkan diri sebentar,” jawab saya tersentak.
Nah, dari sanalah saya mulai tahu kalau saya mudah terserang kepanikan yang dahsyat, sampai-sampai gemetaran, berkeringat dan merasa tidak enak badan selama beberapa jam ketika bertemu pria. Pernah, saya terjebak ngobrol dengan seorang anak laki-laki di sekolah. Setelahnya, kaki ini langsung saya kerahkan untuk berlari menuju toilet dan mencari perlindungan, mengumpat di balik kubikalnya. Anehnya, jika pria itu adalah sosok yang saya kenal, saya justru merasa baik-baik saja di sekitar mereka.

Tapi pria selain mereka? Hmm, langsung saya membatu dan tegang.
Beberapa bulan kemudian, saya membuat kesepakatan pada diri sendiri untuk menghindari tempat yang saya beri sebutan “danger zone”, seperti jalan raya atau mal. Saya lebih memilih shopping online daripada pergi ke mal. Saya akan meminta teman saya untuk datang ke rumah, daripada mendatangi rumahnya lalu bertemu dengan ayah atau adik laki-lakinya. Lama-lama saya semakin lihai menghindar dari serangan panik itu, atau sebut saja, ini menjadi cara terbaik untuk mengumpat dari rasa takut.
“Melarikan” diri seperti itu tak lantas membuat hidup saya lebih tenang. Di usia saya ke-14, kondisi ini mulai berpengaruh pada kehidupan sosial saya. Berbagai alasan saya umbar agar terhindar dari ajakan hang out dengan para sahabat dan juga kekasihnya. Bukannya tak tertarik pada pria, tapi perasaan setiap melihat mereka sama halnya ketika Anda melihat seekor laba-laba. Ya, takut dan jijik. Jarang melihat kehadiran saya kumpul bersama, salah satu teman bertanya langsung kenapa saya tidak bergaul lagi. Lagi-lagi saya memakai alasan lama: Karena ibu melarang saya pacaran, makanya saya tak boleh ke luar rumah.

Suatu malam, saya tak bisa lagi membendung kesedihan ini. Langsung saya pergi mencari ibu. “Ada sesuatu yang salah dengan saya,” saya merintih pelan. “Saya takut melihat pria. Itu sebabnya, ibu jarang menemukan saya pergi ke luar rumah. Dan itu pula sebabnya sampai sekarang, saya tak pernah terslihat punya kekasih!” Esok harinya ibu mengajak saya bertemu dengan kakek, salah satu pria yang saya anggap nyaman berada di sekitar saya. Ia menduga saya mengidap fobia dan menganjurkan kami untuk pergi ke dokter spesialis. Sebulan kemudian, diagnosa itu pun keluar dan saya terbukti mengidap androphobia. Mengetahui nama penyakitnya membuat saya sedikit lega. Ini berarti, saya bisa mendapatkan pertolongan.
Beruntung dokter yang menangani kasus saya adalah seorang wanita. Ia memberi latihan mental sampai cara menenangkan diri supaya saya bisa mengatasi rasa takut yang tiba-tiba menyerang. Beberapa bulan kemudian, saya melihat banyak kemajuan. Meskipun terkadang saya masih melempar reaksi buruk ketika berhadapan dengan pria, tapi saya sudah bisa sedikit mengendalikan emosi, apalagi saat berpapasan dengan pria di jalan.

Tantangan Baru

Berbagai tantangan mulai menghadang selepas masa sekolah dan mulai masuk ke lingkungan kerja. Saya belum dapat bekerja full time sampai bisa percaya diri untuk bisa nyaman di depan pria. Rasa kagok itu tetap muncul di hari-hari pertama bekerja part-time, tapi untungnya beberapa rekan kerja saya tahu akan kondisi ini dan tak satu pun dari mereka yang mengejek saya. Februari 2009, saya siap untuk kerja full time. Datang untuk wawancara kerja – yang kebetulan interviewer-nya ialah seorang pria – mental saya kembali diuji. Terlatih dengan teknik relaksasi diri mampu membuat mulut ini tak lagi terkunci rapat. I got the job!

Saya berjumpa dengan sekelompok pria hampir setiap hari. Sekuat tenaga saya kerahkan untuk mampu menjabat tangan mereka, dan membuktikan pada diri kalau saya bisa melumpuhkan rasa takut itu. Beruntung manajer saya seorang wanita, jadi apabila terserang rasa panik saya bisa langsung mengadu padanya.

Terbiasa bergaul dengan pria, maka setahun kemudian saya fokus membuka diri untuk sebuah hubungan cinta. Sebelum hari kencan pertama tiba, chatting dan telepon menjadi penghubung satu-satunya agar bisa saling mengenal pribadi masing-masing. Saat merasa cukup dekat, saya berani jujur untuk bilang, “Kamu mungkin tidak akan percaya apa yang saya katakan, tapi saya punya ketakutan pada pria.” Beberapa dari mereka mengira saya bercanda. Beberapa dari mereka hanya tertawa, lalu menutup telepon.

Melangkah Maju

Tahun lalu, bibir seorang pria mendarat di bibir saya. Per sekian detik kemudian saya tersadar kalau rasa takut itu bisa dilampaui. Beberapa kencan saya lalui, namun saya akan mundur teratur apabila mereka meminta lebih dari sekadar ciuman. Seorang pria yang saya kencani meninggalkan pesan sesaat setelah kencan, “Aku ingin membelai tubuhmu.” Saya tak pernah menghubunginya lagi karena terlanjur muak dan takut.
Beberapa minggu lalu saya berpapasan dengan seorang pria yang saya suka. Saking terpesonanya, saya minta bantuan seorang teman untuk mendapatkan nomor teleponnya. Punya inisiatif berani seperti ini terbilang sebuah kemajuan yang sangat pesat. Usaha itu berbuah hasil. Saya berhasil merencanakan night out dengannya. Di sana, saya segera memberitahunya tentang kondisi ini. Ia tak kaget, ia tak menjauh, ia justru meresponnya dengan ramah, dan tetap ingin menjalin hubungan yang lebih jauh lagi dengan saya.

Saya bangga, punya kemajuan besar untuk membunuh rasa takut ini. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga nantinya dapat mengumpulkan nyali untuk berhubungan seksual dengan pria, tapi saya tidak akan menyerah mencobanya. Ada gambaran untuk memiliki keluarga di masa depan nanti. Bagaimana itu terjadi dan entah siapapun pria itu, saya percaya saya pasti bisa sampai ke sana.

Teh Expert View

Adrian Wells, seorang profesor psikologis klinis dan eksperimental di Manchester University, mengatakan, “Fobia itu bisa apapun bentuknya. Dalam arti, apapun yang ada dalam bayangan Anda ataupun yang tidak pernah Anda bayangkan sebelumnya, walaupun hal ini jarang ditemukan kasusnya. Seperti yang dialami Emily Day, androphobia, dan gynophobia (ketakutan saat melihat wanita).”

Androphobia bukan jenis penyakit turunan. Justru fobia ini timbul karena dorongan yang terlalu kuat dalam diri sehingga menstimulus rasa cemas semakin menjadi. Penderita cenderung melihat pria sebagai ancaman, seolah pelaku tindakan kejahatan.


[ ADHI SETIA PUTRA ASP ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar